KONSEP Rumah Tumbuh Oleh Arsitek Zie Trisaksono

Milestone (sejarah perjalanan) seseorang dalam kepemilikan rumah rata2 bisa digambarkan seperti dalam diagram berikut ini.
Oya, sebelum mulai, perjalanan yg sekian lama ngekost atau mengontrak rumah sengaja di-skip dulu ya biar nggak kepanjangan ceritanya.. 😁

KONSEP Rumah Tumbuh Oleh Arsitek Zie Trisaksono

Kita mulai dari memutuskan untuk membeli rumah subsidi (RSS) dengan tipe kecil. Pertimbangannya apalagi kalo bukan soal harga. Cicilannya masih terjangkau. Baru awal-awal kerja, gaji masih UMK. Apalagi baru menikah dan belum punya anak.
Tipe 30 atau 36 cukuplah buat berdua.
Kendaraan juga masih motor, masih bisalah parkir di ruang tamu

Lalu 2-3 tahun kemudian mulai punya anak. Mulailah butuh kamar anak. Motor juga udah nambah. Ruang tamu nggak cukup lagi buat parkir. Diputuskanlah buat renovasi. Nambah ke belakang buat dapur, kesamping buat kamar dan kedepan depan buat teras parkiran motor. Sisa lahan dihabiskan semua. Dimaksimalkan untuk ruangan.

Beberapa tahun kemudian mulailah naik jabatan. Gaji makin tinggi. Motor mulai tergantikan dengan mobil. Mulai butuh garasi besar. Padahal sisa lahan sudah habis. Daripada bermasalah dg tetangga karena parkir diluar, akhirnya diputusakn untuk renovasi lagi. Kali ini naik menjadi 2 lantai biar lantai bawah bisa untuk garasi.

Seiring bertambahnya income keluarga. Ditambah anak-anak mulai sekolah. Mulai butuh mobil lagi untuk istri antar jemput anak ke sekolah dan les. Mobil tambah lagi. Otomatis garasi nggak muat lagi. Lalu memutuskan untuk renovasi keatas lagi menjadi 3 lantai.
Tujuannya agar lantai satunya bisa untuk garasi, dan mobil bisa masuk semua.

Jabatan sudah tinggi, duit sudah bnyk, mobil ada 2, dan anak2 sudah semakin besar. Mulai gengsi tinggal di kawasan rumah subsidi.
Lalu diputuskan untuk dijual.
Rencananya hasil penjualan nanti bisa untuk membeli rumah baru di kawasan yg lebih elit. Toh rumah sudah 3 lantai. Harga jualnya juga pasti mahal!
Apakah benar harapan tersebut akan sesuai dengan kenyataannya?!

Nah, disinilah bagian yg paling menyedihkan! 😭

Ternyata kenyataan tak seindah harapan.
Rumah yg digadang-gadang akan laku dg harga tinggi (paling tidak balik modal) ternyata penjualannya melempem.
Apanya yg salah?
Rumah 3 lantai. Materail berkualitas. Interior mewah. Perabot berkelas. Kok nggak laku dijual tinggi?

Mari kita analisa.

Biar mudah memahaminya sy ibaratkan rumah kita sebuah mobil saja ya.
Kita beli mobil yg murah, misalnya apa?
Agya, Ayla, Avanza?
Ah jangan deh...ntar yg punya tersinggung.
Sy coba pake contoh mobil murah yang tak pernah ada saja. Taruhlah kita beli mobil Esemka. 😁
Harganya di tahun 2014 anggap saja 100jt.

Setelah kita miliki, lalu Esemka tersebut kita modif habis-habisan. Ban ganti radial semua dg velg racing 20". Untuk keamanan kacanya kita ganti yg anti peluru. Udah gitu dilapisi kaca film anti UV yg permeternya 2 jutaan. Grill dan handle dilapis platinum.
Interior lebih edan lagi. Full entertainment system keluaran pabrikan kondang. Jok kulit asli dg kualitas premium. Dilengkapi kulkas mini dan lighting efek dibeberapa sudutnya. Pokoknya nyaman banget. Nggak kalah sama interior standarnya mercy.
Dari segi mesin pun dirombak habis. Pasang turbo dan segala macemnya. Suspensi diganti yg empuk. Pokoknya wow banget!
Total modifikasi habis 600jt.
Jadi kalo ditotal harga mobil 100jt+modif 600jt, modal seluruhnya 700jt.

Benarkah mobil Esemka modifan tersebut saat ini otomatis bernilai 700jt?

Benarkah jika dijual lagi mobil tersebut laku 700jt atau anggaplah dikurangi nilai susutnya setidaknya tetap mendekati angka itu?

Benarkah hasil penjualannya nanti bisa untuk membeli mobil mewah diatasnya spt Rubicon atau Evoque?

Jawabannya: BIG NO alias NGGAK BINGIIIT!

Kebanting?
Jelas!

Ketika Esemka tersebut dijual kembali, yg ditanya pembeli paling begini:

"Esemka tahun berapa?"

"Tahun 2014!" (Sekarang udah kuliah dong?!🤣)

"Oh, tahun itu harganya 100jt ya. Kalo dikurangi nilai susutnya paling harga pasaran saat ini 60jt. Karena ini dimodif jadi bagus sy beraninya 65jt deh!"

Eng ing eng....

Pait banget kan?

Assseeem banget nggak tuh?!

Itu kalo kasus pada mobil. Makanya pemilik mobil modifan biasanya meng-kanibal mobilnya dulu sebelum dijual. Sebab dijual terpisah lebih bisa 'menyelamatkan' harganya daripada dijual paketan.

Nah bagaimana jika kasus tersebut terjadi pada perumahan?
Meski property berbeda dg mobil karena nilai property selalu naik, tetapi logikanya tetap sama. Kuranglebih nasibnya pun begitu-begitu juga.

Lantas apa yg terjadi pada properti yg seperti itu?

Lalu bagaimana sebaiknya?

Apakah rumah RSS tidak layak dijadikan #rumahtumbuh ?

Apakah itu artinya lebih baik membangun rumah sendiri (custom) diluar perumahan daripada beli rumah di perumahan yg sudah ketahuan jelas harga pasarannya (ada harga pembandingnya)?

Mari kita bahas lebih lanjut.

Hampir sama dg mobil, nilai jual properti semacam itu pun tidak akan bisa naik secara signifikan. Harga rumah di lingkungan perumahan RSS yang harga pasarannya ‘hanya’ 100jt ditambah besaran renovasi mencapai 600jt tidak lantas membuat harga jualnya menjadi 700jt.

Kenapa:
1. Pembeli cenderung melihat harga pasaran properti di sekitar lingkungannya. Ada benchmark yg bukan lagi rahasia, yaitu harga-harga rumah lain yg ada di perumahan tersebut. Sebab yg lain jualan di kisaran harga 100-150jt. Jika properti kita ditawarkan sebesar 700jt tidak akan dilirik pembeli meskipun secara nominal sebanding dg kualitas bangunannya.

2. Pembeli yg cerdas pasti tau dg harga yg sama akan lebih memilih mencari rumah di kawasan yg lebih elit dibanding rumah mewah yg ada di kawasan RSS.

Tapi harga properti kan selalu naik, suatu saat pasti balik modal kan?

Iya betul, suatu saat memang akan mencapai nilai tersebut. Tapi dengan catatan itu akan terjadi disaat rumah lainnya juga naik. Artinya harga kawasan tersebut secara makro memang naik karena daerahnya berkembang, akses jalan bagus, fasilitas baru bermunculan dsb. Tapi secara mikro, properti kita tetap nggak akan bisa naik secara signifikan dari harga pasaran rumah di kawasan tersebut.

Lalu apakah itu artinya perumahan RSS tidak layak untuk dijadikan #RumahTumbuh ?

Bukan begitu.
Bagaimanapun juga RSS atau rumah bersubsidi tetaplah menjadi salahsatu pilihan bijak saat kita merintis rumah tangga. Sambil berjalannya waktu pelan-pelan kita renovasi sesuai dengan kebutuhan kita. Tambah anak, tambah kamar. Tambah kendaraan bikin garasi. Dan seterusnya…

Kalo begitu sampai dengan batasan seperti apa renovasi yg kita lakukan pada properti RSS agar nilainya tetap ekonomis dan nggak rugi jika dijual kembali?

Kenali ‘exit strategi’ nya!

Apa itu dan kapan waktunya?!

Baiklah…dari rangkaian penjelasan diatas, kesimpulan sementaranya adalah bahwa memiliki dan tinggal di rumah RSS atau Rumah Subsidi bukanlah sebuah aib. Anggap saja sebagai step yg memang harus dilalui untuk mencapai level yg lebih tinggi lagi.
Namun kobarkan selalu optimisme untuk tidak selamanya tinggal di RSS. Bukan karena gengsi atau apa, tapi seperti kita tau rumah subsidi apalagi di daerah perkotaan luas bangunannya hanya 30 – 36m2 dg luas tanahnya hanya 72m2 atau kurang.
Kondisi tersebut hanya layak bagi pasangan muda yg baru menikah sampai keluarga dg jumlah anggota 4 jiwa.
Artinya ketika ekonomi kita membaik dan anggota keluarga kita bertambah tentu luasan segitu menjadi tidak ideal lagi. Disaat itulah kita membutuhkan hunian yg lebih baik.

Lalu sampai sejauh mana sebaiknya dalam merenovasi/ mengembangkan rumah RSS agar tidak berlebihan seperti pada contoh sebelumnya?

Nah, ini termasuk tips dalam mengelola #RumahTumbuh.
Menurut pengamatan sy, dalam merenovasi sebuah rumah sederhana di kompleks RSS agar nantinya tidak rugi jika dijual kembali, idealnya tidak lebih besar dari 2x harga pasaran rumah di kompleks tersebut. Jadi misalnya harga rata-rata rumah di kompleks tersebut 100 jutaan, maka besaran renovasi yg kita lakukan sebaiknya kurang dari 200jt. Sehingga total nilai bangunan kita menjadi 300an jt.

Dengan rasio 3x dari nilai standarnya, bangunan kita tersebut masih memiliki ‘harapan’ dalam mendapatkan pembeli jika suatu saat properti tersebut kita jual.

Jangan lebih dari itu!
Sebab jika renovasi yg kita lakukan berlebihan kita akan kesulitan dalam menemukan pembeli yg berminat. Dengan harga jual yg terlalu tinggi, mereka tentu saja lebih memilih membeli rumah di kawasan yg lebih elit.

Lalu mengenai “Exit Strategy”, apa dan kapan kita melakukannya?

Hahaha…kalo ini sekedar istilah saya saja, meminjam istilah dari dunia bisnis yg artinya sebuah pendekatan yang direncanakan untuk mengakhiri situasi dengan cara yang berpotensi memaksimalkan keuntungan dan atau meminimalkan kerugian.
Gampangannya “merencanakan cara ngacir yang elegan!” 🤣

Nah dalam hal kepemilikan properti RSS, strategi seperti itu juga perlu direncanakan.
Mengenai bagaimana dan kapannya, ada 2 alasan utama yaitu alasan intern (pribadi keluarga kita) dan alasan extern (faktor lingkungan kompleks tersebut).

Beberapa alasan intern:
- Kebutuhan ruang sudah tidak ideal dg jumlah anggota keluarga, butuh renovasi namun kondisinya sudah tidak memungkinkan. (sudah full renov maksimal)
- Renovasi yg dilakukan sudah melebihi nilai ekonomisnya. Spt uraian sy diatas, sudah mencapai 3x harga pasaran normalnya. Ini warning.
- Dan alasan-alasan pribadi lain yg tentunya masing-masing punya jawabannya sendiri.

Sedangkan alasan eksternal:
- Lingkungan sudah jenuh/crowded. Seperti kita ketahui bersama, rumah RSS/subsidi diperuntukan bagi keluarga yg baru pertama kali memiliki rumah. Sehingga biasanya di awal eksistensinya dihuni oleh pasangan-pasangan muda. Mayoritas kendaraannya masih motor roda 2. Dan Row jalan biasanya hanya didesain kurang dari 6m saja. Seiring dg bertumbuhnya ekonomi dan jumlah warga masing-masing penghuninya, mulai banyak yg merenovasi habis rumahnya secara berlebihan. Banyak keluarga mulai memiliki mobil yg ironisnya bnyk yg parkir diluar. Mulai banyak terjadi konflik lingkungan. Inilah kondisi yg sy sebut sebagai crowded massal.
Jika indikasi gejala ini sudah mulai muncul, bersiap-siaplah untuk merencanakan “exit strategy” itu tadi.

- Kualitas lingkungan sudah menurun. Ciri-ciri perumahan subsidi adalah dibangun dg biaya rendah sehingga kualitas bangunan dan lingkungannya pun berkualitas ala kadarnya. Ini menyebabkan daya tahannya juga rendah (tidak awet). Perumahan yg warganya kompak dan perangkat RT/RW nya berperan baik tentu saja bagus dalam merawat dan menjaga lingkungannya. Namun jika tidak, disitu kita perlu berfikir untuk exit.

- Mulai terjadi bnyk permasalahan lingkungan dan permasalahan sosial. Mulai dari masalah parkir, banjir akibat parit tertutup renovasi tetangga, kebisingan, keamanan dll.

Nah, inti dari ‘exit strategy’ ini adalah menentukan waktu yg tepat untuk mengeksekusinya.
Kapan waktunya ngacir. Ini penting!
Jangan sampai terlambat.

Ketika bbrp indikasi seperti diatas sudah mulai muncul, bersegeralah untuk merencanakannya. Properti yg dijual terlambat tidak akan mendapatkan hasil yg maksimal.
Sy sendiri pernah melakukannya dan well done!

Trus kembali ke masalah properti yg kita miliki. Jika kondisinya sudah terlanjur direnovasi lebih dari nilai ekonomisnya gimana?
Misalnya RSS kita sudah terlanjur menjadi rumah mewah 3 lantai?

Saran saya: Jangan dijual!
Kalo dijual biasanya rugi karena tidak bisa balik modal dari total biaya yg telah dikeluarkan. Solusinya ya dimanfaatkan untuk hal-hal yg produktif. Misalnya disewakan atau dijadikan kos-kosan.
Jika terpaksa dijual jangan dijual kepada org dekat apalagi tetangga atau developer. Rugi kita. Harganya nggak akan bisa tinggi. Sebab developer/tetangga kita jelas tau sejarahnya rumah kita belinya berapa. Harga pasarannya berapa.

Maka carilah buyer org dari luar yang membutuhkannya. Biasanya lebih fair dan penilaiannya lebih obyektif karena tidak mandeg pada harga imajiner yg sudah terlanjur menjadi patokan warga setempat.

Trus apa saran mas bagi yg belum punya rumah?!

Bikinlah rumah custom!

Rumah yg didesain secara personal, direncanakan dengan baik yang disesuaikan dengan kebutuhan dan selera kita.
Tidak ada duanya dan tidak bisa dibanding-bandingkan karena bukan produk masal.
Biaya bikinnya suka-suka.
Cara bikinnya suka-suka.
Harga jualnya pun suka-suka juga!
Lah kalo bikin sendiri berarti butuh desain dari arsitek dong?

Nggak usah kuatir, sini saya bantu! 😜

#RumahTumbuhByZie
#SharingTentangProperty

Repost via https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2193934360617581&id=1035991949745167
KONSEP Rumah Tumbuh Oleh Arsitek Zie Trisaksono KONSEP Rumah Tumbuh Oleh Arsitek Zie Trisaksono Reviewed by Blog Zone on November 08, 2018 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.